DUNIA KEBIDANAN
- PERKEMBANGAN KEBIDANAN DI INDONESIA- UPAYA PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN ANGKA KEMATIAN BAYI
- MASALAH DALAM PELAYANAN KEBIDANAN DI INDONESIA
- PROGRAM IBI (IKATAN BIDAN INDONESIA) UNTUK MEWUJUDKAN BIDAN YANG BERKUALITAS
PERKEMBANGAN KEBIDANAN DI INDONESIA
Perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan nasional maupun internasional terjadi begitu cepat. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan merupakan hal yang penting untuk dipelajari dan dipahami oleh petugas kesehatan khususnya bidan yang bertugas sebagai bidan pendidik maupun bidan di pelayanan
Salah satu faktor yang menyebabkan terus berkembangnya pelayanan dan pendidikan kebidanan adalah masih tingginya mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin, khususnya di negara berkembang dan di negara miskin yaitu sekitar 25-50%. Mengingat hal diatas, maka penting bagi bidan untuk mengetahui sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan karena bidan sebagai tenaga terdepan dan utama dalam pelayanan kesehatan ibu dan bayi diberbagai catatan pelayanan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal dan bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan serta meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.
PELOPOR YANG BEKERJA SAMA DALAM PERKEMBANGAN KEBIDANAN HIPOKRATES DARI YUNANI THN 460 – 370 SM
Disebut Bapak Pengobatan
1. Menaruh perhatian terhadap kebidanan / keperawatan dan pengobatan
2. Wanita yang bersalin dan nifas mendapatkan pertolongan dan pelayanan selayaknya.
SORANUS THN 98-138 SM BERASAL DARI EFESUS/TURKI Disebut Bapak Kebidanan
1. Berpendapat bahwa seorang ibu yang telah melahirkan tidak takut akan hantu atau setan dan menjauhkan ketahyulan
2. Kemudian diteruskan oleh MOSCION bekas muridnya : meneruskan usahakan dan menulis buku pelajaran bagi bidan-bidan yang berjudul : KATEKISMUS bagi bidan-bidan Roma Pengetahuan bidan semakin maju.
Sejarah Perkembangan Pelayanan Dan Pendidikan Kebidanan Di Indonesia
Perkembangan pendidikan dan pelayanan kebidanan di Indonesia tidak terbatas dari masa penjajahan Belanda, era kemerdekaan, politik/kebijakan pemerintah dalam pelayanan dan pendidikan tenaga kesehatan, kebutuhan masyarakat serta kemajuan ilmu dan teknologi.
Perkembangan Pelayanan Kebidanan
Pelayanan kebidanan adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab praktik profesi bidan dalam system pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan kaum perempuan khususnya ibu dan anak. Layanan kebidanan yang tepat akan meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu dan bayinya. Layanan kebidanan/oleh bidan dapat dibedakan meliputi :
a. Layanan kebidanan primer yaitu layanan yang diberikan sepenuhnya atas tanggung jawab bidan.
b. Layanan kolaborasi yaitu layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota tim secara bersama-sama dengan profesi lain dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan.
c. Layanan kebidanan rujukan yaitu merupakan pengalihan tanggung jawab layanan oleh bidan kepada system layanan yang lebih tinggi atau yang lebih kompeten ataupun pengambil alihan tanggung jawab layanan/menerima rujukan dari penolong persalinan lainnya seperti rujukan.
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807 (zaman Gubernur Jenderal Hendrik William Deandels) para dukun dilatih dalam pertolongan persalinan, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak adanya pelatih kebidanan.
Adapun pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Tahun 1849 di buka pendidikan Dokter Jawa di Batavia (Di Rumah Sakit Militer Belanda sekarang RSPAD Gatot Subroto). Saat itu ilmu kebidanan belum merupakan pelajaran, baru tahun 1889 oleh Straat, Obstetrikus Austria dan Masland, Ilmu kebidanan diberikan sukarela. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda (dr. W. Bosch). Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Pada tahun 1952 mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta yang akhirnya dilakukan pula dikota-kota besar lain di nusantara. Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA).
Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu pelayanan terintegrasi kepada masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan keluarga berencana.
Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan dekat dengan masyarakat. Kebijakan ini melalui Instruksi Presiden secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992 tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatan bidan di desa.
Adapun tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk. Pembinaan dukun bayi. Dalam melaksanakan tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya, mengadakan pembinaan pada Posyandu di wilayah kerjanya serta mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas adalah pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan yang diberikan berorientasi pada kesehatan masyarakat berbeda halnya dengan bidan yang bekerja di rumah sakit, dimana pelayanan yang diberikan berorientasi pada individu. Bidan di rumah sakit memberikan pelayanan poliklinik antenatal, gangguan kesehatan reproduksi di poliklinik keluarga berencana, senam hamil, pendidikan perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas dan ruang perinatal.
Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang menekankan pada reproduktive health (kesehatan reproduksi), memperluas area garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi :
1. Safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus
2. Family Planning.
3. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
4. Kesehatan reproduksi remaja
5. Kesehatan reproduksi pada orang tua.
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan dan kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Permenkes tersebut dimulai dari :
a. Permenkes No. 5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
b. Permenkes No. 363/IX/1980, yang kemudian diubah menjadi Permenkes 623/1989 wewenang bidan dibagi menjadi dua yaitu wewenang umum dan khusus ditetapkan bila bidan meklaksanakan tindakan khusus di bawah pengawasan dokter. Pelaksanaan dari Permenkes ini, bidan dalam melaksanakan praktek perorangan di bawah pengawasan dokter.
c. Permenkes No. 572/VI/1996, wewenang ini mengatur tentang registrasi dan praktek bidan. Bidan dalam melaksanakan prakteknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan tersebut disertai dengan kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup :
- Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak.
- Pelayanan Keluarga Berencana
- Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
d. Kepmenkes No. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan revisi dari Permenkes No. 572/VI/1996
Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi dan merujuk sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan dan kemampuannya. Dalam keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Kepmenkes No. 900/2002 tidaklah mudah, karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan ini mengandung tuntutan akan kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri.
Perkembangan Pendidikan Kebidanan
Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan seiring untuk menjawab kebutuhan/tuntutan masyarakat akan pelayanan kebidanan. Yang dimaksud dalam pendidikan ini adalah, pendidikan formal dan non formal.
Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnyah peserta didik yang disebabkan karena adaanya larangan atatupun pembatasan bagi wanita untuk keluaran rumah.
Pada tahunan 1902 pendidikan bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi di rumah sakit militer di batavia dan pada tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita indo dibuka di Makasar. Luluasan dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
Tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Calon yang diterima dari HIS (SD 7 tahun) dengan pendidikan keperawatan 4 tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang luluas dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama dua tahun. Untuk perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjutan selama dua tahun juga.
Pada tahun 1935-1938 pemerintah Kolonial Belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo (Setingkat SLTP bagian B) dan hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain Jakarta di RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo di Semarang. DI tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang membedakan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikannya Mulo dan pendidikan Kebidanan selama tiga tahun tersebut Bidan Kelas Satu (Vreodrouweerste Klas) dan bidan dari lulusan perawat (mantri) di sebut Bidan Kelas Dua (Vreodrouw tweede klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada zaman penjajahan Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.
Pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenjang Kesehatan E atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun.
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967 KTB ditutup (discountinued).
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya pendidikan ini berlangsung satu tahun, kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.
Pada tahun 1970 dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata diseluruh propinsi. Pada tahun 1974 mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non sarjana. Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga multi purpose di lapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal. Namun karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil.
Pada tahun 1975 sampai 1984 institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup secara wajar.
Tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan, dibuka pendidikan Diploma I Kesehatan Ibu dan Anak. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua institusi.
Pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang menerima lulusan SPR dan SPK. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
Tahun 1989 dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional yang memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa. Untuk itu pemerintah menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS Golongan II). Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT) dengan kontrak selama tiga tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat diperpanjang 2 x 3 tahun lagi.
Penempatan BDD ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah. BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak hanya kemampuan klinik, sebagai bidan tapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan (A) diselenggarakan dengan peserta didik cukup besar. Diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah memiliki minimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan sebagai seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun waktu satu tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik untuk praktek klinik kebidanan sangat kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki sebagai seorang bidan juga kurang.
Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari lulusan Akademi Perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada Program Pendidikan Bidan A. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan dari lulusan ini tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu hanya setahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua angkatan (1995 dan 1996) kemudian ditutup.
Pada tahun 1993 juga dibuka pendidikan bidan Program C (PPB C), yang menerima masukan dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 Propinsi yaitu : Aceh, Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wilayah Kalimantan. Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan dalam waktu enam semester.
Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (Distance learning) di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/XII/1994
Diklat Jarak Jauh Bidan (DJJ) adalah DJJ Kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan tugasnya dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI dan AKB. DJJ Bidan dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah. Pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di Propinsi. DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 Propinsi, pada tahap II (1996-1997) dilaksanakan di 16 propinsi dan pada tahap III (1997-1998) dilaksanakan di 26 propinsi. Secara kumulatif pada tahap I-III telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439 (55%) dinyatakan lulus.
Pada tahap IV (1998-1999) DJJ dilaksanakan di 26 propinsi dengan jumlah tiap propinsinya adalah 60 orang, kecuali Propinsi Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah masing-masing hanya 40 orang dan Propinsi Jambi 50 orang. Dari 1490 peserta belum diketahui berapa jumlah yang lulus karena laporan belum masuk. Selain pelatihan DJJ tersebut pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawat daruratan maternal dan neonatal (LSS = Life Saving Skill) dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul. Koordinatornya adalah Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas.
Sedang pelaksanaannya adalah Rumah sakit propinsi/kabupaten. Penyelenggaraan ini dinilai tidak efektif ditinjau dari proses. Pada tahun 1996, IBI bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwive (ACNM) dan rumah sakit swasta mengadakan Training of Trainer kepada anggota IBI sebanyak 8 orang untuk LSS, yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di PPIBI. Tim pelatih LSS ini mengadakan TOT dan pelatihan baik untuk bidan di desa maupun bidan praktek swasta. Pelatihan praktek dilaksanakan di 14 propinsi dan selanjutnya melatih bidan praktek swasta secara swadaya, begitu juga guru/dosen dari D3 Kebidanan. 1995-1998, IBI bekerja sama langsung dengan Mother Care melakukan pelatihan dan peer review bagi bidan rumah sakit, bidan Puskesmas dan bidan di desa di Propinsi Kalimantan Selatan.
Pada tahun 2000 telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal health (MNH) yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya untuk pelatihan pelayanan tetapi juga guru, dosen-dosen dari Akademi Kebidanan. Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, utnuk meningkatkan kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan Lokakarya organisasi. Lokakarya organisasi dengan materi pengembangan organisasi (Organization Development = OD) dilaksanakan setiap tahun sebanyak dua kali mulai tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya dari UNICEP.
Tahun 2000 Keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan tentang D-IV Kebidanan di FK UGM,FK UNPAD Tahun 2002 di FK USU. Tahun 2005 Keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan tentang S2 Kebidanan di FK UNPAD
UPAYA PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN BAYI DI INDONESIA
Kejadian kematian ibu dan bayi yang terbanyak terjadi pada saat
persalinan, pasca persalinan, dan hari-hari pertama kehidupan bayi masih
menjadi tragedi yang terus terjadi di negeri ini. Untuk menurunkan
Angka Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir diperlukan upaya dan inovasi
baru, tidak bisa dengan cara-cara biasa
Upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir harus
melalui jalan yang terjal. Terlebih kala itu dikaitkan dengan target
Millenium Development Goals (MDGs) 2015, yakni menurunkan angka kematian
ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup, dan angka kematian
bayi (AKB) menjadi 23 per 100.000 kelahiran hidup yang harus dicapai.
Waktu yang tersisa hanya tinggal tiga tahun ini, tidak akan cukup untuk
mencapai sasaran itu tanpa upaya-upaya yang luar biasa.
Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001,
penyebab langsung kematian ibu hampir 90 persen terjadi pada saat
persalinan dan segera setelah persalinan. Sementara itu, risiko
kematian ibu juga makin tinggi akibat adanya faktor keterlambatan, yang
menjadi penyebab tidak langsung kematian ibu. Ada tiga risiko
keterlambatan, yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk
(termasuk terlambat mengenali tanda bahaya), terlambat sampai di
fasilitas kesehatan pada saat keadaan darurat dan terlambat memperoleh
pelayanan yang memadai oleh tenaga kesehatan. Sedangkan pada bayi, dua
pertiga kematian terjadi pada masa neonatal (28 hari pertama kehidupan).
Penyebabnya terbanyak adalah bayi berat lahir rendah dan prematuritas,
asfiksia (kegagalan bernapas spontan) dan infeksi.
Berbagai upaya memang telah dilakukan untuk menurunkan kematian ibu,
bayi baru lahir, bayi dan balita. Antara lain melalui penempatan bidan
di desa, pemberdayaan keluarga dan masyarakat dengan menggunakan Buku
Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) dan Program Perencanaan Persalinan
dan Pencegahan Komplikasi (P4K), serta penyediaan fasilitas kesehatan
Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di Puskesmas
perawatan dan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK)
di rumah sakit.
Upaya terobosan yang paling mutakhir adalah program Jampersal
(Jaminan Persalinan) yang digulirkan sejak 2011. Program Jampersal ini
diperuntukan bagi seluruh ibu hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru
lahir yang belum memiliki jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan.
Keberhasilan Jampersal tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan
pelayanan kesehatan namun juga kemudahan masyarakat menjangkau pelayanan
kesehatan disamping pola pencarian pertolongan kesehatan dari
masyarakat, sehingga dukungan dari lintas sektor dalam hal kemudahan
transportasi serta pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting.
Melalui program ini, pada tahun 2012 Pemerintah menjamin pembiayaan
persalinan sekitar 2,5 juta ibu hamil agar mereka mendapatkan layanan
persalinan oleh tenaga kesehatan dan bayi yang dilahirkan sampai dengan
masa neonatal di fasilitas kesehatan. Program yang punya slogan Ibu
Selamat, Bayi Lahir Sehat ini diharapkan memberikan kontribusi besar
dalam upaya percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir.
Lalu bagaimana dengan kecenderungan angka kematian ibu sejauh ini,
terutama setelah berbagai upaya dilakukan? Kalau mengacu pada hasil
Survey Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dilakukan selama kurun
waktu 1994-2007, AKI memang terus menunjukkan tren menurun. Hasil SDKI
2007 menunjukkan AKI sebesar 228 per 100.000. Namun, melihat tren
penurunan AKI yang berlangsung lambat, dikhawatirkan sasaran MDG 5a
tidak akan tecapai. Demikian juga dengan sasaran MDG 4, perlu upaya
lebih keras agar penurunan AKI dan AKB melebihi tren yang ada sekarang.
Tidak bisa lagi upaya itu dilakukan secara business as usual.
Upaya-upaya inovasi yang memiliki daya ungkit yang tinggi harus segera
dikedepankan.
Komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah
Dapat dikatakan bahwa semua Pemerintah Daerah Provinsi memiliki
komitmen untuk mendukung pencapaian Millineum Developmen Goals termasuk
percepatan penurunan kematian ibu dan kematian bayi baru lahir dengan
menyusun Rencana Aksi Daerah disamping terobosan lainnya. Berikut
beberapa contoh komitmen yang ada; Provinsi Nusa Tenggara Barat telah
mencanangkan Program AKINO (Angka Kematian Ibu dan Bayi Nol) dengan
meningkatkan akses dan kualitas pelayanan KIA hingga ke tingkat desa.
Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Program Revolusi KIA dengan tekad
mendorong semua persalinan berlangsung di fasilitas kesehatan yang
memadai (puskesmas). Pemda DI Yogyakarta berkomitment meningkatkan
kualitas pelayanan dan penguatan sistem rujukan, serta penggerakan
semua lintas sektor dalam percepatan pencapaian target MDGs oleh Pemda
Provinsi Sumatera Barat.
Pemerintah daerah, baik itu di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota
juga diharapkan memiliki komitmen untuk terus memperkuat sistem
kesehatan. Pemerintah provinsi diharapkan menganggarkan dana yang cukup
besar untuk mendukung peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan
dasar dan rujukan. Pelayanan kesehatan dasar yang diberikan melalui
Puskesmas hendaknya hendaknya diimbangi dengan ketersediaan RS Rujukan
Regional dan RS Rujukan Provinsi yang terjangkau dan berkualitas.
Dukungan pemerintah provinsi diharapkan juga diimbangi dengan dukungan
pemerintah kabupaten/kota dalam implementasi upaya penurunan kematian
ibu dan bayi. Antara lain melalui penguatan SDM, ketersediaan
obat-obatan dan alat kesehatan, anggaran, dan penerapan tata kelola yang baik (good governance) di tingkat kabupaten/kota.
Keberhasilan percepatan penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir
tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan pelayanan kesehatan namun juga
kemudahan masyarakat menjangkau pelayanan kesehatan disamping pola
pencarian pertolongan kesehatan dari masyarakat. Perbaikan
infrastruktur yang akan menunjang akses kepada pelayanan kesehatan
seperti transportasi, ketersediaan listrik, ketersediaan air bersih dan
sanitasi, serta pendidikan dan pemberdayaan masyarakat utamanya terkait
kesehatan ibu dan anak yang menjadi tanggung jawab sektor lain memiliki
peran sangat besar. Demikian pula keterlibatan masyarakat madani,
lembaga swadaya masyarakat dalam pemberdayaan dan menggerakkan
masyarakat sebagai pengguna serta organisasi profesi sebagai pemberi
pelayanan kesehatan.
Dukungan masyarakat madani
Di lain pihak dukungan organisasi profesi tidak kalah pentingnya
melalui deklarasi yang mereka canangkan pada tahun 2009, organisasi
profesi ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI), Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI),
Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan
Perkumpulan Perinatologi Indonesia (PERINASIA). Organisasi profesi
berkomitmen meningkatkan profesionalisme anggotanya untuk meningkatkan
kualitas pelayanan bagi ibu dan anak. Pada tahun yang sama sekumpulan
LSM dan organisasi masyarakat madani bergabung dalam Gerakan Kesehatan
Ibu dan Anak juga mendukung pencapaian MDGs 2015 melalui advokasi dan
pemberdayaan masyarakat. Pemerintah juga menjalin kerja sama
dengan berbagai Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Negeri pada November 2011 menandatangani deklarasi Semarang agar dengan
pendekatan Tri Darma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian dan
pengabdian masyarakat, perguruan tinggi dapat memberikan sumbangsihnya
dalam pengembangan, implementasi dan monitoring serta evaluasi dari
setiap kebijakan kesehatan, khususnya dalam pencapaian MDGs di tingkat
nasional dan di tingkat daerah.
Dukungan development partners
Upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir harus melalui
jalan yang terjal. Terlebih kala itu dikaitkan dengan target Millenium
Development Goals (MDGs) 2015 waktu yang tersisa hanya tinggal tiga
tahun ini, sehingga diperlukan upaya-upaya yang luar biasa. Pemerintah
pusat dan daerah serta developmen partner berupaya mengembangkan upaya
inovatif yang memiliki daya ungkit tinggi dalam upaya percepatan
penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir. Fokus pada penyebab utama
kematian, pada daerah prioritas baik daerah yang memiliki kasus kematian
tinggi pada ibu dan bayi baru lahir serta pada daerah yang sulit akses
pelayanan tidak berarti melupakan lainnya.
Upaya inovatif tersebut antara lain; penggunaan technologi terkini
pada transfer of knowledge maupun pendampingan dalam memberi pelayanan
serta pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan ‘SMS’, metode
pendampingan pada capasity building 1baik dalam hal management program
maupun peningkatan kualitas pelayanan, serta memberi kewenangan lebih
pada tenaga kesehatan yang sudah terlatih pada daerah dengan kriteria
khusus dimana ketidaktersediaan tenaga kesehatan yang berkompeten.
Pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan masyarakat
internasional dengan prinsip kerja sama kemitraan, untuk mendukung upaya
percepatan penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi. Kerja sama dengan
berbagai development partners dalam bidang kesehatan ibu dan anak telah berlangsung lama, beberapa kemitraan tersebut adalah :
1) AIP MNH (Australia Indonesia Partnership for Maternal and
Neonatal Health), bekerja sama dengan Pemerintah Australia di 14
Kabupaten di Provinsi NTT sejak 2008, bertujuan menurunkan angka
kematian ibu dan bayi melalui Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak. Program
ini bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan dan masyarakat,
penigkatan kualitas pelayanan KIA di tingkat puskesmas dan RS serta
peningkatan tata kelola di tingkat kabupaten. Pengalaman menarik dari
program ini adalah pengalaman kemitraan antara RS besar dan maju dengan
RS kabupaten di NTT yaitu kegiatan sister hospital.
2) GAVI (Global Alliance for Vaccine & Immunization) bekerja
beberapa kabupaten di 5 provinsi (Banten, Jabar, Sulsel, Papua Barat dan
Papua), bertujuan meningkatkan cakupan imunisasi dan KIA melalui
berbagai kegiatan peningkatan partisipasi kader dan masyarakat,
memperkuat manajemen puskesmas dan kabupaten/kota.
3) MCHIP (Maternal & Child Integrated Program) bekerjasama
dengan USAID di 3 kabupaten (Bireuen, Aceh, Serang-Banten dan Kab.Kutai
Timur- Kalimantan Timur)
4) Pengembangan buku KIA oleh JICA walaupun kerjasama project
telah berakhir namun buku KIA telah diterapan di seluruh Indonesia.
5) UNICEF melalui beberapa kabupaten di wilayah kerjanya seperti
ACEH, Jawa Tengah, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (kerjasama
dengan Child Fund) serta Papua meningkatkan pemberdayaan keluarga dan
masyarakat terkait kesehatan ibu dan anak dan peningkatan kualitas
pelayanan anak melalui manajemen terpadu balita sakit (MTBS).
6) Tidak terkecuali WHO memfasilitasi peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan ibu dan anak baik dalam dukungan penyusunan standar
pelayanan maupun capasity building.
Pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan RI meluncurkan program EMAS
(Expanding Maternal and Neonatal Survival, bekerja sama dengan USAID
dengan kurun waktu 2012 – 2016, yang diluncurkan 26 Januari 2012 sebagai
salah satu bentuk kerjasama Pemerintah Indonesia dengan USAID dalam
rangka percepatan penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir di 6
provinsi terpilih yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Barat,
Banten, Jawa Tengah dan JawaTimur yang menyumbangkan kurang lebih 50
persen dari kematian ibu dan bayi di Indonesia. Dalam program ini
Kementerian Kesehatan RI bekerjasama dengan JHPIEGO, serta mitra-mitra
lainnya seperti Save the Children, Research Triangle Internasional,
Muhammadiyah dan Rumah Sakit Budi Kemuliaan
Upaya yang akan dilaksanakan adalah dengan peningkatan kualitas
pelayanan emergensi obstetri dan neonatal dengan cara memastikan
intervensi medis prioritas yang mempunyai dampak besar pada penurunan
kematian dan tata kelola klinis (clinical governance) diterapkan di RS
dan Puskesmas. Upaya lain dalam program EMAS ini dengan memperkuat
sistem rujukan yang efisien dan efektif mulai dari fasilitas pelayanan
kesehatan dasar di Puskesmas sampai ke RS rujukan di tingkat
kabupaten/kota. Masyarakat pun dilibatkan dalam menjamin akuntabilitas
dan kualitas fasilitas kesehatan ini. Untuk itu, program ini juga akan
mengembangkan mekanisme umpan balik dari masyarakat ke pemerintah daerah
menggunakan teknologi informasi seperti media sosial dan SMS gateway,
dan memperkuat forum masyarakat agar dapat menuntut pelayanan yang lebih
efektif dan efisien melalui maklumat pelayanan (service charter) dan
Citizen Report Card.
Tekad dan tujuan Kementerian Kesehatan untuk mencapai Masyarakat
Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan dapat diraih dengan dukungan berbagai
pihak, demi kesejahteraan masyarakat umumnya dan kesehatan ibu dan anak
khususnya. Tak ada harapan yang tak dapat diraih dengan karya nyata
melalui kerja keras dan kerja cerdas.
MASALAH-MASALAH DALAM PELAYANAN KEBIDANAN DI INDONESIA
Profesi bidan adalah profesi yang bertanggung jawab atas segala keputusan yang diberikan terhadap klien. Selain itu bidan juga mempunyai tanggung jawab moral atas keputusan yang diambilnya.
⌂ Bu bidan
memberikan pelayanan terhadap seorang wanita
|
Prinsip utama yang digunakan dalam penyelesaian
masalah dan pelayanan kesehatan adalah otonomi, Beneficence yang berarti berbuat baik dan nonmalefience yang berarti tidak merugikan dan adil (Sarwono, 2008:
82). Penghormatan terhadap klien yang berarti mengakui hak individunya.
Berperilaku adil dalam membantu mengatasi masalah klien dengan melakukan
arahan-arahan. Berusaha mencarikan pilihan yang etis sebagai solusi yang
terbaik agar klien mampu menyelesaikan masalahnya.
Dalam
membantu pemecahan masalah klien bidan dapat menggunakan dua tahapan
pendekatan, yaitu: (a)pendekatan berdasarkan prinsip, (b)pendekatan berdasarkan
asuhan atau pelayanan. Etika kedokteran atau kesehatan pendekatan berdasarkan
prinsip itu dengan menawarkan bimbingan tindakan khusus. Menurut Beauchamp
Childress, menyatakan ada empat prinsip dalam etika kesehatan, yang meliputi:
(1)tindakan sebaiknya mengarah sebagai penghargaan terhadap kapasitas otonomi
setiap orang. (2)menghindarkan berbuat suatu kesalahan. (3)dengan murah hati
memberikan sesuatu yang bermanfaat dengan segala konsekuensinya. (4)keadilan
menjelaskan tentang manfaat dan resiko yang dihadapi (Wahyuningsih, 2008: 23).
Memberikan
pelayanan terhadap klien harus didahului dengan pemberian arahan-arahan sesuai
dengan kebutuhan klien. Upaya pemberian pelayanan ini bertujuan agar klien
dapat mudah memahami dan melaksanankannya. Sikap bidan yang berusaha memberikan
pelayanan terbaik inilah yang disebut tenaga kesehatan yang baik karena
memberikan pelayanan yang baik, benar dan tidak melakukan tindakan yang
merugikan klien. Namun jika terjadi kesalahan akan menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap tenaga kesehatan tersebut, bahkan rumah sakitnya juga. Maka
dari itu petugas kesehatan harus bekerja dengan hati-hati dan selalu mengutamakan
pelayanan terbaiknya untuk klien.
Dari setiap
hasil pemeriksaan terhadap klien harus dijelaskan dengan sejelas mungkin dan
mudah dipahami klien. Karena klien juga memiliki hak keadilan untuk mengetahui
keadaannya tentang manfaat dan resiko yang akan dihadapinya. Walaupun terkadang
mengalami kesulitan karena bidan mempertimbangkan resiko terhadap klien jika
mengetahuinya dan dapat menyebabkan konflik dalam mengambil keputusan.
Informed
choice adalah
membuat pilihan setelah mendapat penjelasan tentang alternatif asuhan yang akan
dialaminya (Sujianti, 2009: 39). Bidan yang memberikan pelayanan harus
menghormati hak ibu dan meningkatkan penerimaan ibu terhadap pilihan dan
tanggung jawab hasil dari pilihannya.
Pemberian asuhan dengan gambaran permasalahan yang sesungguhnya akan
dihadapi dan semua dikembalikan pada pilihan klien itu sendiri. Upaya untuk
memperluas pilihan dan menghindari konflik dengan memberikan informasi yang
benar dan lengkap serta mudah dipahami ibu. Untuk mempermudah pemberian informasi
dilakukan wawancara langsung serta dapat menggunakan media ataupun sarana
lainnya. Bidan harus memberikan bantuan ibu dalam menggunakan hak dan siap
menerima tanggung jawab atas keputusan yang akan diambilnya.
Informed consent (persetujuan) dalam
pemberian otoritas pada semua prosedur yang akan dilakukan bidan yang berkaitan
erat dengan bidang hukum yang diberikan pada klien atau walinya untuk melakukan
suatu tidakan kebidanan terhadap klien setelah memperoleh informasi lengkap.
Karena tindakan yang dilakukan bidan hasilnya penuh dengan ketidakpastian dan
tidak dapat di prediksi secara matematis. Hal ini dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor dari luar kekuasaan bidan, seperti perdarahan post partum, shock
dan asfiksia neonatorum. Oleh karena itu, persetujuan klien bagi setiap
tindakan medik menjadi mutlak diperlukan kecuali dalam keadaan darurat.
PROGRAM IBI DALAM MEWUJUDKAN BIDAN YANG BERKUALITAS
Ikatan Bidan
Indonesia (IBI) merupakan organisasi profesi bidan di Indonesia. Wadah
Para bidan dalam mencapai tujuan melalui kebijakan peningkatan
profesionalisme anggota guna menjamin masyarakat mendapatkan pelayanan
berkualitas. IBI didirikan pada tanggal 24 Juni 1951, menjadi anggota
Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) pada tahun 1951 dan bergabung menjadi
anggota ICM (International Confederation of Midwives) pada tahun 1956.
Kantor pusat berkedudukan di Jakarta, IBI memiliki perwakilan di 33
Provinsi, 445 kota/kabupaten dan 1944 ranting diseluruh indonesia.
Visi IBI adalah mewujudkan bidan profesional berstandar global. Misi IBI adalah meningkatkan kekuatan organisasi, meningkatkan peran IBI dalam meningkatkan mutu pendidikan bidan serta
pelayanan, meningkatkan kesejahteraan anggota dan mewujudkan kerjasama dengan jejaring kerja. Nilai – nilai yang mendasari IBI adalah mengutamakan kebersamaan, mempersatukan diri dalam satu wadah, pengayoman terhadap anggota, pengembangan diri, peran serta dalam komunitas, mempertahankan citra Bidan dan pelayanan berkualitas kepada Ibu dan Anak
Ibu Sehat - Anak Sehat - Bangsa Sehat
Visi IBI adalah mewujudkan bidan profesional berstandar global. Misi IBI adalah meningkatkan kekuatan organisasi, meningkatkan peran IBI dalam meningkatkan mutu pendidikan bidan serta
pelayanan, meningkatkan kesejahteraan anggota dan mewujudkan kerjasama dengan jejaring kerja. Nilai – nilai yang mendasari IBI adalah mengutamakan kebersamaan, mempersatukan diri dalam satu wadah, pengayoman terhadap anggota, pengembangan diri, peran serta dalam komunitas, mempertahankan citra Bidan dan pelayanan berkualitas kepada Ibu dan Anak
Ibu Sehat - Anak Sehat - Bangsa Sehat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar